Menolak Pembatasan Motor di Jalan Protokol Jakarta

Rabu, 03 Desember 2014 - Aang Sunadji

MerahPutih Nasional- Banyak pro kontra yang terjadi di masyarakat mengenai larangan sepeda motor masuk ke jalan protokol Jakarta mulai 17 Desember mendatang. Seorang pengendara motor yang setiap harinya melintas di jalan Thamrin menuturkan, dirinya sangat keberatan dengan peraturan yang akan diterapkan tersebut.

Muhamad Ramdhani, seorang pekerja yang juga merupakan bikers mengatakan, dirinya tak setuju dengan keputusan Gubernur DKI Jakarta, motor dilarang masuk jalan protokol. Lantas ia pun mengacu pada Undang Undang  Nomor  8 tahun 1999 mengenai perlindungan konsumen menumbuhkan rasa hak mereka sebagai pembayar pajak. Dan berdasarkan Undang Undang Nomor 22 tahun 2009, juga tak mengatur pembatasan jalan terhadap sepeda motor di jalan raya.

Ia beranggapan bahwa dirinya patut memperoleh hak untuk mendapatkan kesamaan dengan pengendara mobil di jalan protokol Sudirman, Thamrin dan Medan Merdeka Barat. "Beberapa pengendara motor, termasuk saya  akan beranggapan, kebijakan baru Gubernur DKI Jakarta ini mengada-ada. Karena bila mengurai penyebab kemacetan tidak bisa langsung yang divonis itu adalah pengendara motor saja,” ujar Ramdhani.

Ia menambahkan, selama ini kita melihat banyaknya pelayanan di bidang jasa. Sebut saja tukang ojek, tukang pos dan jasa delivery lain di perkantoran sepanjang jalan protokol tersebut. Nah, jika aturan tersebut sudah diterapkan nantinya mereka itu akan dikemanakan.  Mereka juga pekerja. Mungkin saja, bila hal ini terus digencarkan oleh Pemda DKI Jakarta, para pengendara roda dua akan melakukan demo di kantor Gubernur tersebut.

Hal senada juga diungkapkan oleh Indra Prabowo, Ketua Umum Forum Wartawan Otomotif (FORWOT). Pembatasan jalan Sudirman, Thamrin dan Medan Merdeka harus diatur waktunya. Tidak disamaratakan pada waktu yang tak terbatas.

“Kami menolak jika motor dilarang masuk sama sekali. Berbeda halnya dengan pembatasan misalkan saja berdasarkan jam,” kata Indra.

Pengaturan waktu pada jam-jam sibuk sebagai pengganti 3 in 1 masih sangat di makluminya. Karena regulasi kendaraan pada jam-jam tersebut memang cukup berpotensi tinggi. Lain halnya dengan di waktu siang dan tengah malam, dinihari. Kondisi jalan protokol tersebut lenggang.

“Kalau sampai pelarangan sama sekali tetap diterapkan maka pemerintah wajib menyediakan kantong-kantong parkir yang strategis dan luas serta transportasi umum yang lebih baik dari dan menuju tempat yang dituju para pengguna sepeda motor,” tandas Indra.

Hal yang sama juga diungkapkan Indonesia Trafic Watch (ITW). Dengan tegas pihak ITW menolak kebijakan Pemerintah DKI Jakarta ini. Kenapa? Menurut Edison Sirait, Ketua Presidium ITW, bertentangan dengan semangat UU Lalu Lintas No. 22 tahun 2009.

“Di UU Lalu Lintas No. 22 tahun 2009 tidak mengatur pelarangan pengendara sepeda motor masuk ke jalan protokol. Pemprov DKI seharusnya  memahami dulu tiga tujuan pokok yang wajib diwujudkan sesuai dengan amanat UU No 22 tahun 2009 tentang lalu Lintas dan Angkutan Jalan itu.  Pertama, terwujudnya pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan yang aman, selamat, tertib, lancar (Kamseltibcar) dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk mendorong perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa. Kedua, terwujudnya etika berlalu lintas sebagai budaya bangsa. Dan Ketiga, terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat,” jelas Edison Sirait.

ITW memandang  hal ini sangat tidak fokus apa yang dilakukan pemerintah. Hendak mengurai kemacetan,  justru membuat kemacetan. Tidak subtansial. Jalan Sudirman empat jalur sebelumnya. Lihat sekarang semakin mengecil, cuma dua jalur karena terpakai dengan kepentingan projek yang seharusnya bisa di sederhanakan.

”Itu dia yang saya maksud. Upaya itu yang seharusnya menjadi fokus pemerintah sebagai penyelenggara dan pembina lalu lintas dan angkutan jalan, justru terfokus pada hal-hal yang tidak subtansial. Bukan justru sebaliknya, menjadikan pelayanan lalu lintas sebagai lahan bisnis untuk mengisi pundi-pundi kas Pemprov DKI. Dengan menerapkan sistim Electronic Road Pricing (ERP) di ruas jalan yang masih semrawut,” ujar Edison.

Sebelumnya ITW sudah meminta agar Pemprov DKI lebih dulu menyiapkan infrastruktur sarana prasarana yang memadai sebelum melaksanakan kebijakan berupa larangan. Karena, jauh sebelumnya ruas jalan Thamrin dan Merdeka Barat, sudah menjadi jalur utama bagi masyarakat untuk melaksanakan aktivitas, baik itu pengendara roda dua maupun roda empat.

Buat pengendara motor, Pemprov DKI harus menyiapkan parkir gratis di seputar kawasan yang dilarang untuk dilintasi sepeda motor. Bukan hanya menyiapkan bus gratis, lalu pemprov DKI merasa sudah melaksanakan kewajiban. Karena  warga tidak  bisa langsung dari rumah naik ke bus itu, pasti parkir terlebih dahulu.

“Dan bila kebijakan itu tetap diberlakukan, ITW tengah menyiapkan class action kepada Pemda DKI untuk menempuh jalur hukum,” tandas Edison.

Bagikan

Baca Original Artikel

Berita Terkait

Bagikan