Lima Tokoh Islam Bolehkan Ucapan Selamat Natal

Rabu, 24 Desember 2014 - Raden Yusuf Nayamenggala

MerahPutih Nasional - Beberapa pekan lalu ramai diperbincangkan, apakah umat Islam boleh mengucapkan ‘Selamat Natal’. Pro kontra terjadi di sini. Front Pembela Islam (FPI), haram hukumnya bagi umat Islam untuk mengucapkan Selamat Natal. FPI mengartikan dalam hal ini bahwa ucapan Selamat Natal bagi umat Islam bisa mengganggu keyakinan ketuhanan (akidah). Berbeda dengan tokoh Islam lainnya, Syafii Maarif, Hidayat Nur Wahid, Din Syamsudin, Said Aqil Siradj dan Dr Quraish Shihab. Lalu, bagaimana tanggapan kelima tokoh Islam ini?

Syafii Maarif


Tokoh organisasi masyarakat Islam Muhammadiyah, Syafii Maarif, mengatakan ucapan ‘Selamat Natal’ sama bobotnya dengan menuturkan ‘Apa Kabar’, Selamat Pagi’, dan sapaan lainnya. Menurut Syafii, sapaan itu justru bisa menimbulkan perdamaian. Damai di hati dan damai di bumi," kata Buya Syafii, demikian sapaan akrabnya seperti yang dikutip dari Tempo.

Buya Syafii juga menganggap lucu umat Islam yang melarang ucapan Selamat Natal. Itu lucu, katanya. Ia mempertanyakan apakah umat Islam yang seperti itu lebih baik ketimbang lainnya.
Menurutnya ucapan Selamat Natal yang ditujukan oleh umat Islam kepada umat nasrani tidak perlu dipermasalahkan. Buktinya saja, setiap tahun ia selalu mengucapkan Selamat Natal kepada para kardinal dan umat kristiani lainnya.
Masih menurutnya, ucapan Natal adalah wujud kerukunan hubungan sesama manusia. Atas dasar itu, ia berharap agar ucapan Selamat Natal tidak dikaitkan dengan masalah teologi.
"Jangan berpikir kalau ada yang mengucapkan 'Selamat Natal' ia otomatis memiliki teologi sama," ujarnya.

Hidayat Nur Wahid


Sebagai Anggota Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menuturkan, seluruh umat antar agama agar menjaga sikap saling toleransi. Menurutnya, sikap toleransi dilakukan bersama-sama dan tidak saling menganggu.
Ia menuturkan, umat Muslim tidak dilarang untuk mengucapkan Selamat Natal kepada kaum Kristiani. Tidak ada pihak yang memaksa umat Muslim untuk ikut merayakan Natal.

"Jangan sampai ada pemaksaan, misalnya ada umat Muslim diwajibkan pakai pakaian Santa Klaus. Tapi kalau tidak keberatan ya tidak apa-apa. Toh, waktu Idul Fitri pun kita tak memaksa saudar-saudara agama lain untuk pakai jilbab. Marilah kita saling menjaga rasa toleransi bersama-sama," tutur Hidayat, di Jakarta.
Ia menambahkan, secara prinsip Indonesia memiliki sikap saling toleransi, sehingga diharapkan umat Islam tidak mengganggu saudara-saudara Kristiani yang merayakan Natal.


Din Syamsudin


Ia mengatakan dengan tegas selama tidak mempengaruhi akidah, ucapan Selamat Natal diperbolehkan. Hal inilah yang terjadi setiap tahunnya. Yang kerap muncul perdebatan tentang boleh atau tidaknya seorang muslim mengucapkan kalimat tersebut kepada tetangga atau rekan yang beragama Nasrani.

Banyak yang berpendapat, mengucap ‘Selamat Natal’ bagi seorang muslim dapat dikategorikan menyalahi aturan. Pendapat demikan biasanya merujuk pada Surah Al-Kafirun ayat 6 atau riwayat “Bukan termasuk golongan kami siapa saja yang menyerupai selain kami” (H.R. Tirmidzi no. 2695).

Namun tidak sedikit pula yang mengeluarkan pendapat tentang dibolehkannya mengucap selamat Natal dalam konteks tertentu. Ia menyebutkan, selama itu tidak memengaruhi akidah umat Muslim maka ucapan Selamat Natal dapat dilakukan.

Said Aqil Siradj


Ketua Umum PB NU, menegaskan bahwa tidak ada larangan bagi umat muslim untuk memberi ucapan selamat Hari Raya Natal. Ia justru menganggap hal tersebut sebagai tanda bangsa yang beradab dan modern.

Ia pun tidak ragu-ragu mengucapkan Selamat Natal kepada seluruh umat Nasrani di Indonesia. Ia berharap Natal kali ini dapat membawa berkah bagi bangsa Indonesia.

"Saya, Said Aqil Siraj mengucapkan selamat Hari Natal kepada saudara kita umat Kristiani. Mudah-mudahan kita mendapat berkah Tuhan," katanya.

Karena itu ia menghimbau seluruh masyarakat untuk menjaga situasi tetap kondusif.

Dr Quraish Shihab


Dalam hal ini Dr Quraish Shihab mengatakan, pendapat mengucapkan Selamat Natal masalahnya berbeda. Menurutnya, dalam masyarakat Indonesia, banyak ulama yang melarang, tetapi tidak sedikit juga yang membenarkan dengan beberapa catatan khusus.

Sebenarnya, dalam Al-Quran ada ucapan selamat atas kelahiran ‘Isa: Salam sejahtera (semoga) dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku, hari aku wafat, dan pada hari aku dibangkitkan hidu kembali (QS. Maryam [19]: 33). Surah ini mengabadikan dan merestui ucapan selamat Natal pertama yang diucapkan oleh Nabi mulia itu. Akan tetapi, persoalan ini jika dikaitkan dengan hukum agama tidak semudah yang diduga banyak orang, karena hukum agama tidak terlepas dari konteks, kondisi, situasi, dan pelaku.

Yang melarang ucapan “Selamat Natal” mengaitkan ucapan itu dengan kesan yang ditimbulkannya, serta makna populernya, yakni pengakuan Ketuhanan Yesus Kristus. Makna ini jelas bertentangan dengan akidah Islamiah, sehingga ucapan “Selamat Natal” paling tidak dapat menimbulkan kerancuan dan kekaburan.

Teks keagamaan Islam yang berkaitan dengan akidah sangat jelas. Itu semua untuk menghindari kerancuan dan kesalahpahaman. Bahkan al-Quran tidak menggunakan satu kata yang mungkin dapat menimbulkan kesalahpahaman, sampai dapat terjamin bahwa kata atau kalimat itu tidak disalahpahami. Kata “Allah”, misalnya, tidak digunakan ketika pengertian semantiknya di kalangan masyarakat belum sesuai dengan yang dikehendaki Islam. Kata yang digunakan sebagai ganti kata Allah ketika itu adalah Rabbuka (Tuhanmu, hai Muhammad). Demikian wahyu pertama hingga surah al-Ikhlas.

Ucapan selamat atas kelahiran Isa (Natal), manusia agung lagi suci itu, memang ada di dalam Al-Quran, tetapi kini perayaannya dikaitkan dengan ajaran Kristen yang keyakinannya terhadap Isa al-Masih berbeda dengan pandangan Islam. Nah, mengucapkan “Selamat Natal” atau menghadiri perayaannya dapat menimbulkan kesalahpahaman dan dapat mengantarkan kita pada pengaburan akidah.

Di pihak lain, ada juga pandangan yang membolehkan ucapan “Selamat Natal”. Ketika mengabadikan ucapan selamat itu, al-Quran mengaitkannya dengan ucapan Isa, “Sesungguhnya aku ini, hamba Allah. Dia memberiku al-Kitab dan Dia menjadikan aku seorang Nabi.” (QS. Maryam [19]: 30).

Nah, salahkah bila ucapan “Selamat Natal” dibarengi dengan keyakinan itu? Bukankah al-Quran telah memberi contoh? Bukankah ada juga salam yang tertuju kepada Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, keluarga Ilyas, serta para nabi lain? Bukankah setiap Muslim wajib percaya kepada seluruh Nabi sebagai hamba dan utusan Allah? Apa salahnya kita mohonkan curahan shalawat dan salam untuk Isa as, sebagaimana kita mohonkan untuk seluruh nabi dan rasul? Tidak bolehkah kita merayakan hari lahir (natal) Isa as? Bukankah Nabi SAW juga merayakan hari keselamatan Musa dari gangguan Fir’aun dengan berpuasa Asyura, sambil bersabda kepada orang-orang Yahudi yang sedang berpuasa, seperti sabdanya, “Saya lebih wajar menyangkut Musa (merayakan/mensyukuri keselamatannya) daripada kalian (orang-orang Yahudi),” maka Nabi pun berpuasa dan memerintahkan (umatnya) untuk berpuasa (HR. Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud), melalui Ibnu Abbas—lihat Majma; al-Fawaid, hadits ke-2.981). Itulah, antara lain, alasan membenarkan seorang Muslim mengucapkan selamat atau menghadiri upacara Natal yang bukan ritual. (MP/AKU)

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan