Masa Depan Sastra Indonesia di Tangan Generasi Milenial

Andrew FrancoisAndrew Francois - Selasa, 24 Mei 2022
Masa Depan Sastra Indonesia di Tangan Generasi Milenial

Sastra di era milenial. (Foto: Unsplash/Kaitlyn Baker)

Ukuran text:
14
Dengarkan Berita:

TAK banyak sastrawan Indonesia yang berkibar di mata dunia, salah satu yang pernah disebut-sebut sebagai nominator peraih Hadiah Nobel Sastra adalah Pramoedya Ananta Toer. Hal itu juga bisa terjadi karena kekuatannya yang khas dan menarik sehingga novelnya diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing.

Setelah era Pramoedya, salah satu sastrawan yang cukup berprestasi lainnya ialah Eka Kurniawan yang cemerlang lewat novel Cantik Itu Luka dan novel lainnya yang telah diterjemahkan ke berbagai bahasa mancanegara. Tentu dirinya juga begitu diperhitungkan sebagai nomine peraih Nobel Sastra.

Kemudian perkembangan sastra Indonesia selama dua dekade terakhir ditandai dengan munculnya era milenial yang menjadi kontributor bagi revolusi besar di dunia perbukuan. Penerbitan buku sastra konvensional yang semula dipasarkan di toko buku fisik perlahan beralih ke penjualan secara daring atau melalui online marketplace.

Baca juga:

Mengulik Sastra Siber dan Perkembangannya Kini di Indonesia

Sastra di era milenial sudah lebih canggih. (Foto: Unsplash/Glenn Carstens-Peters)

Toko buku digital internasional mengambil alih pemasaran tersebut yang dapat diakses oleh peminat buku di seluruh dunia sebenarnya lebih memudahkan pemasaran buku sastra. Proses pemasaran menjadi juga menjadi lebih sederhana lewat media sosial, blog, situs web yang memungkinkan penulis menggapai peminat di berbagai penjuru dunia.

Tak dapat dimungkiri bahwa perkembangan sastra di era milenial telah berubah melalui perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang serba cepat dan mudah. Perubahan ditandai dengan kemajuan teknologi internet yang turut mengubah kebiasaan para sastrawan dalam menulis berbagai karya kreatif.

Proses kreatifnya tentu masih tetap seperti semula karena semua dimulai dari tahap kontemplasi atau perenungan mendalam dan diilhami oleh situasi sekitar. Namun perubahan terbesar terdapat pada penyebaran karya sastra yang kini terasa lebih cepat dan mudah, bahkan tak terbatas oleh ruang dan waktu.

Kini banyak sastrawan muda atau generasi milenial yang begitu produktif berkarya karena cukup ditulis lewat telepon genggam dan langsung disiarkan melalui berbagai layanan media sosial. Seperti YouTube, Twitter, Instagram, Facebook, LinkedIn, WhatsApp, dan lainnya.

Baca juga:

Memanfaatkan Kemajuan Teknologi untuk Melestarikan Bahasa Melalui Karya Sastra

Sastrawan harus memanfaatkan teknologi bila ingin tetap eksis. (Foto: Unsplash/Thought Catalog)

Namun yang menjadi persoalan adalah kala karya sastra lahir secara instan dan kerap tanpa penyuntingan membuat mutu karyanya diragukan. Meski memang keterampilan menulis karya sastra bisa saja didapat dengan banyak membaca karya sastra bermutu yang telah dirilis oleh sastrawan pendahulu.

Sekarang pilihan ada di tangan para sastrawan itu sendiri. Maukah menyiarkan berbagai karyanya secara luas? Tentunya agar dibaca oleh para penikmat sastra di berbagai belahan dunia dan menyiarkan karya. Sekaligus meraup rupiah untuk menopang perekonomian sehari-hari.

Perkembangan teknologi komunikasi sendiri tak mungkin berhenti dan akan terus berkembang. Para sastrawan harus terus memanfaatkan teknologi komunikasi dalam menyiarkan karya berkualitas bila ingin tetap eksis. Bila menemukan momentum yang tepat, langkah menuju hamparan sastra dunia bisa saja digenggam. (waf)

Baca juga:

Mengenal Karya-karya Sastra Populer di Indonesia

#Lipsus Mei Sastra
Bagikan
Ditulis Oleh

Andrew Francois

I write everything about cars, bikes, MotoGP, Formula 1, tech, games, and lifestyle.

Berita Terkait

Bagikan